Minggu, 03 Januari 2010

Ki Doktor Enthus Susmono Kecewa dengan Kongres Bahasa Jawa IV

Hari ini jam 2:52

PAKAR sastra Jawa dan dalang wayang kulit sohor, Ki Doktor Enthus Susmono (42 tahun), menyatakan kegelisahannya pada upaya pelestarian bahasa mayoritas di negeri kita ini. Kongres Bahasa Jawa (KBJ) yang berlangsung keempat kalinya di Semarang belum lama ini, tidak menyejukkan hatinya. Tetapi justru makin membuatnya gundah-gulana.
”Edan tenan... menggunakan uang rakyat Rp 4,25 miliar tanpa manfaat,” begitu ujarnya menggelegar -- ketika ditemui beberapa waktu lalu, menjelang pagelaran wayang kulit memeriahkan hari ulangtahun ke-61 Suratkabar Kedaulatan Rakyat.
Ki Enthus Susmono memang tidak hanya mbeling saat performa sebagai dalang. Bicara keras, blak-blakan dan kritis nampak sudah menjadi karakter kesehariannya. Begitu pula nada bicaranya siang itu. “Jangan wawancara soal wayang, kuwe uwis biasalah. Kita bicara tentang Bahasa Jawa yang makin memperihatinkan ini,” katanya campur dialek Tegal, kota kelahirannya.

Dari mana Anda hendak memulai mengritisi Bahasa Jawa?

Tentu saja dari event Kongres Bahasa Jawa IV pekan lalu. Saya seribu persen kecewa. Perhelatan yang menelan biaya Rp 4,25 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Propinsi Jawa Tengah itu, kok cuma jadi ajang klangenan. Itu uang rakyat yang tak sedikit. Apalagi rakyat sedang melarat. Ini pemborosan luar biasa.

Maksud Anda dengan istilah 'klangenan'?

Lihat saja yang hadir, semua orang-orang sepuh yang memiliki visi reuni dan kangen-kangenan. Eh, itu 'kan kongres sebagai forum menelurkan suatu dokumen memorandum yang aplikatif dan sustainable untuk Bahasa Jawa. Lha, yang terjadi malah kongres Bahasa Suriname...
Ha... ha....ha..(Ki Enthus tergelak sinis). Saya khawatir, yang hadir tidak bisa membedakan arti konferensi dengan resepsi jagongan. Mereka pikir konferensi bisa kualified hanya dengan datang mengenakan busana batik, tertawa-tawa sambil ngapurancang.

Anda hadir atau sekadar memantau?

Wah, sebenarnya saya siap datang membawa barisan demo. Sebagai seniman tentu bukan demo destruktif, tetapi happening art. Namun karena Presiden tak jadi hadir, demo kami tunda.
Ada yang prinsip telah dilanggar oleh panitia penyelenggara. Mereka melakukan diskriminasi terhadap sosok-sosok yang aktif dalam Kongres Sastra Jawa (KSJ). Sehingga beberapa nama yang sangat kompeten untuk bicara soal pelestarian dan kesinambungan Bahasa Jawa justru dicoret.
Padahal, seharusnya KBJ dan KSJ ibarat dua sisi mata uang. Bisa saling melengkapi. Bukan dikotak-kotakkan atau bahkan dianggap rival.

Andai Presiden hadir, apa yang hendak disampaikan?

Kami siap menyampaikan setidaknya tiga memorandum. Pertama, sebagai rakyat menuntut Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) dari panitia KBJ IV. Kedua, Pengajaran Bahasa Jawa di sekolah harus tepat guna (terapan). Ketiga, penulisan buku acuan satuan pelajaran Bahasa Jawa harus diserahkan pada ahlinya dan melalui proses uji publik.

Soal budgeting, Anda nampak sensitif...

Oh ya, harus itu. Saya sangat peka pada kehidupan rakyat yang sedang hidup susah begini. Rp 4,25 miliar sudah bisa bikin sekolahan atau rumah sakit, daripada untuk aktivitas yang kemanfaatannya tak dirasakan rakyat. Bandingkan dengan KSJ yang hanya butuh Rp 20 juta. Nah........ ini memang tergantung niat dan nurani masing-masing.

SEBAGAI penutur/pelaku dan pengguna Bahasa Jawa, Ki Enthus Susmono PhD, memberikan 'warning' agar Bahasa Jawa 'diurus' dengan memperhatikan 'local genius'. Artinya, memperhatikan dialek yang beragam. “Sama-sama Bahasa Jawa, tetapi kita sudah merasa berbeda bila masing-masing memunculkan logat. Misal Jawatimuran, Banyumasan atau Mataraman,” katanya.
Oleh karena itu, bila dimulai dari bangku sekolah melalui aplikasi satuan pelajaran Bahasa Jawa, seharusnyalah forum KBJ yang baru lalu sudah memperhitungkan dan memperbincangkan ragam (bahasa) dialek untuk bahan satuan pelajaran. Dan, memang disayangkan banyak pihak karena rekomendasi KBJ IV ini tidak menggambarkan upaya nyata menyelamatkan bahasa Jawa, terutama di kalangan muda. KBJ IV hanya mengimbau keluarga muda Jawa hendaknya menggunakan Bahasa Jawa dalam keseharian.

Bisa menjelaskan dengan singkat, apa istimewa Bahasa Jawa?

Saya merasakan kosakata Bahasa Jawa yang memang sangat kaya, sehingga efektif untuk menggambarkan rasa. Dibanding Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa jauh lebih kaya. Saking beragamnya, sampai banyak kata yang sama tetapi di lain daerah beda makna.
Untuk menyebut binatang kuda, misalnya, di kawasan Yogya - Solo bisa disebut kapal. Tetapi di Jawa Timur, mana ada orang tahu? Kapal ya di laut. Sekadar contoh lain, di Jawa Tengah, kata gitik berarti memukul, di Surabaya bisa dipahami sebagai aktivitas persenggamaan. Sama bermakna makan, namun dari kosa kata: dhahar, mangan, maem, ngemplok, nguntal, nyaplok, mbadhog -- kita bisa membedakan rasa atau emosi dari sosok yang sedang berbicara.

Anda merasakan bila minat masyarakat khususnya generasi muda, untuk menggunakan Bahasa Jawa sangat menurun?

Tidak cuma minat yang akan siginifikan mempengaruhi turunnya pengguna Bahasa Jawa, namun juga kemanfaatan Bahasa Jawa yang semakin sempit. Sehingga saat ini terjadi suatu kondisi yang kontradiktif, yakni: Bahasa Jawa sulit dipelajari, rendah pula kemanfaatannya. Apalagi bila dibanding bahasa asing seperti Mandarin, Korea, Jepang atau Prancis -- yang kini terus naik daun karena permintaan pasar.

Lho, Anda terdengar pesimis...

Ini kenyataan yang harus segera dihadapi secara sinergis. Antara lain, entry point bisa lewat pengajaran di sekolah. Kurikulum harus didesain untuk Bahasa Jawa serapan sehingga mudah dan menarik untuk diaplikasikan. Bila ingin bertahan, harus mengikuti perkembangan zaman.

Pengajaran Bahasa Jawa selama ini?

Terlalu di awang-awang, enggak membumi. Kita lihat dalam keseharian saja di lingkup keluarga sudah jarang yang berbahasa Jawa. Eh, begitu mengikuti pelajaran harus bisa krama inggil. Nah..... siapa yang tertarik? Ini terlalu susah, jadinya boring (membosankan). sama-sama merasa asing, akhirnya orang berpikir lebih baik mempelajari bahasa asing beneran.
Apalagi bangsa ini sudah dijejali dengan jargon globalisasi yang menuntut semua serba global, termasuk bahasa global. Terus, bahasa lokal -- dalam hal ini Bahasa Jawa -- mau ditaruh mana? Padahal kita tahu, bahasa bagian dari kebudayaan. Bila Bahasa (Jawa) sudah marginal, berarti kebudayaan Jawa juga sudah terpinggirkan.

Lalu, apa yang harus segera dilakukan?

Banyak yang harus dilakukan, apalagi sudah terlambat. Antara lain, pemerintah harus segera menyusun satuan pelajaran Bahasa Jawa tepat guna. Bahasa Jawa gaul yang mudah diaplikasikan, gitu lho. Sehingga orang Batak -- atau lain suku -- pun dimungkinkan meraih nilai sembilan atau sepuluh untuk pelajaran Bahasa Jawa.
Jangan sebaliknya, makin susah pelajaran makin memuaskan penyusun satuan pelajaran. Makin rendah nilai yang diraih murid, guru malah bangga.

Artinya, sebenarnya pengajaran Bahasa Jawa bisa dipermudah?

Benar sekali. Kuncinya pada penyusunan satuan pelajaran yang aplikatif. Bahasa terapan, jangan antipati pada kata serapan dari bahasa lain. Bila tidak luwes, bisa menimbulkan a priori pada Bahasa Jawa itu sendiri. Kalau Bahasa Jawa justru dianggap momok karena saking sulitnya, ini 'kan fatal atraction. Bumerang bagi tujuan pengajaran Bahasa Jawa itu sendiri. Nah, saat ini saya melihat pengajaran Bahasa Jawa di tingkat Sekolah Menengah Atas gagal total.
Lalu, boleh dong kita bertanya: siapa yang bertanggung jawab? Mengapa berlarut-larut tanpa pembaharuan?
Kalau jelas gagal, fair play-lah. Akui saja, kemudian serahkan pada ahlinya. Semua pasti akan tertata baik, mendatangkan manfaat maksimal.

Di sekolah level mana Bahasa Jawa harus dimulai?

Sedini mungkin, sejak taman kanak-kanak bahkan kelompok bermain. Bahasa Jawa harus masuk dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Pengelola sekolah level ini juga orangtua jangan terjebak untuk memprioritaskan pengajaran bahasa asing. Tentu saja bila Anda semua tidak ingin kehilangan jatidiri kebudayaan.

Sejauh mana lingkungan mendorong generasi penerus kita makin jauh dari Bahasa Jawa?

Potensi lingkungan saya lihat parah sekali berkontribusi merusak dan menjauhkan Bahasa Jawa dari keseharian hidup generasi muda. Antara ayah-ibu, sudah tak lagi berbahasa Jawa. Dilanjutkan antara orangtua-anak, makin hilanglah Bahasa Jawa itu. Keluar rumah, sapaan dengan tetangga pun tak lagi Bahasa Jawa. Di sekolah atau kantor, semua tidak lagi berbahasa Jawa. Ini menjadi habit bagaikan mata rantai penyebab makin hilangnya Bahasa Jawa.

Jadi, tidak sepenuhnya kesalahan generasi muda, kan?

Justru generasi tua-lah yang salah, karena tidak mampu membuat kait matarantai penggunaan dan pelestarian Bahasa Jawa. Ini makin diperparah dengan respons pemerintah yang lamban. Celakanya, kalangan birokrat ini kebanyakan tidak mau mendengar saran atau masukan dari pihak lain. Hal yang lebih membuat saya tercengang plus keheranan, ternyata di sono yang pandir lebih banyak jumlahnya dari yang pandai.

Alasan Anda menggunakan istilah pandir?

Lha, kata yang tepat ya memang pandir. Saya tidak punya leksikon lain untuk menyebut pihak atau sosok yang sok paling benar, bebal tak mau mendengar saran dan kritik orang lain.

Langkah apa yang akan terus Anda lakukan?

Saya akan terus menempatkan diri pada posisi kritis. Konsisten menggunakan dan memelihara Bahasa Jawa. Merapatkan barisan untuk selalu kritis yang saya garansi akan tersampaikan dengan landasan kasih-sayang.

Konkretnya?

Ya kritik yang penuh kasih sayang. Harus disampaikan secara indah, elegan, intelek. Bukan yang grobyakan tanpa ujung pangkal. Apalagi grusa-grusu dan waton nggrudug. Wah, itu 'kan kayak performa Buta Rambut Geni. Padahal, katanya atau ujare, jarene -- sebagai Wong Jawa kita memiliki budaya adiluhung. Tapi, ya itu tadi: katanya...

Katanya siapa Ki?

Katanya orang-orang yang suka mengaku-aku berbudaya, tetapi ternyata perusak kebudayaan itu. Kata orang yang merasa beradab, namun berperilaku biadab itu. Ha......haha.......ha..

(Kembali dia tergelak. Humor Ki Dalang Mbeling ini memang luar biasa. Satire yang terlontar, boleh jadi bikin pelbagai pihak merah padam. Namun itulah Ki Enthus Susmono, sosok yang agaknya dipilih olehNya untuk tegar menyangga pilar kritisisasi). (Esti Susilarti)



Nama:
Doktor (HC) Ki Enthus Susmono
Lahir:
Tegal (Jawa Tengah), 1966
Pendidikan:
Mendapat gelar Doctor Honouris Causa untuk Filsafat Wayang dari Missouri Univercity, Amerika Serikat.
Prestasi:
- antara lain Penyaji Makalah Terbaik dalam KBJ III
- Juara I Nasional Festival Dhalang Nusantara 2005.


Karya:
Wayang Rai Wong (2006)
segera menyusul Wayang Rai Dhalang


Sumber:
Kedaulatan Rakyat
Sunday, 01 October 2006
Rubrikasi: Perbincangan

1 komentar:

  1. Mas, diwiwiti saka ngendi? Sampeyan sing sarjana lan sujana basa Jawa, yen seminar ya nganggo basa Indonesia. Mbok iyoa nganggo basa Jawa. Saiki akeh priyayi Jawa ngaku-aku nglestarekake basa Jawa, ning yen ngendikan nganggo basa liya. Nalare saka ngendi, Mas ?

    BalasHapus